Minggu, 28 Maret 2010

MENGENALI TANDA-TANDA KEDEWASAAN PADA DIRI SEORANG EKSEKUTIF #1/2

Mortimer R. Feinberg, Ph.D.

Para ahli psikologi dan psikiater sepakat, bahwa kesuksesan seseorang ditandai dengan berkembangnya prestasi serta kematangan emosinya. Meski tidak ada orang yang menyangkal pernyataan ini, tetapi sedikit orang yang mengetahui secara pasti tentang bagaimana penampilan seseorang yang dewasa atau matang itu, bagaimana cara berpakaian dan berdandannya, bagaimana caranya menghadapi tantangan, bagaimana tanggung jawabnya terhadap keluarga, dan bagaimana pandangan hidupnya tentang dunia ini. Yang jelas kematangan adalah sebuah modal yang sangat berharga. Sesungguhnya apa yang disebut dengan kematangan atau kedewasaan itu?

Kedewasaan tidak selalu berkaitan dengan intelegensi. Banyak orang yang sangat brilian namun masih seperti kanak-kanak dalam hal penguasaan perasaannya, dalam keinginannya untuk memperoleh perhatian dan cinta dari setiap orang, dalam bagaimana caranya memperlakukan dirinya sendiri dan orang lain, dan dalam reaksinya terhadap emosi. Namun, ketinggian intelektual seseorang bukan halangan untuk mengembangkan kematangan emosi.
Malah bukti-bukti menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Orang yang lebih cerdas cenderung mempunyai perkembangan emosi yang lebih baik dan superior, serta mempunya kemampuan menyesuaikan diri atau kematangan sosial yang lebih baik.

Kedewasaan pun bukan berarti kebahagiaan. Kematangan emosi tidak menjamin kebebasan dari kesulitan dan kesusahan. Kematangan emosi ditandai dengan bagaimana konflik dipecahkan, bagaimana kesulitan ditangani. Orang yang sudah dewasa memandanng kesulitan-kesulitannya bukan sebagai malapetaka, tetapi sebagai tantangan-tantangan.

Apa sih kedewasaan/kematangan itu? Menurut kamus Webster, adalah suatu keadaan maju bergerak ke arah kesempurnaan. Definisi ini tidak menyebutkan preposisi "ke" melainkan "ke arah". Ini berarti kita takkan pernah sampai pada kesempurnaan, namun kita dapat bergerak maju ke arah itu. Pergerakan maju ini uniq bagi setiap individu. Dengan demikian kematangan bukan suatu keadaan yang statis, tapi lebih merupakan suatu keadaan "menjadi" atau state of becoming. Pengertian ini menjelaskan, suatu kasus misal, mengapa seorang eksekutif bertindak sedemikian dewasa dalam pekerjaannya, namun sebagai suami dan ayah ia banyak berbuat salah. Tak ada seseorang yang sanggup bertindak dan bereaksi terhadap semua situasi dan aspek kehidupan dengan kematangan penuh seratus persen. Mereka dapat menangani banyak proble secara lebih dewasa. Berikut ini ada beberapa kualitas atau tanda mengenai
kematangan seseorang. Namun, kewajiban setiap orang adalah menumbuhkan itu di dalam dirinya sendiri, dan menjadi bagian dari dirinya sendiri. Maka, orang yang dewasa/matang adalah:

1--Dia menerima dirinya sendiri.

Eksekutif yang paling efektif adalah ia yang mempunyai pandangan atau penilaian baik terhadap kekuatan dan kelemahannya. Ia mampu melihat dan menilai dirinya secara obyektif dan realitis. Dengan demikian ia bisa memilih orang-orang yang mampu membantu mengkompensasi kelemahan dan kekurangannya. Ia pun dapat menggunakan kelebihan dan bakatnya secara efektif, dan bebas dari frustasi-frustasi yang biasa timbul karena keinginan untuk mencapai sesuatu yang sesungguhnya tidak ada dalam dirinya. Orang yang dewasa mengenal dirinya sendiri dengan lebih baik, dan senantiasa berusaha untuk menjadi lebih baik. Ia tidak berkepentingan untuk menandingin orang lain, melainkan berusaha mengembangkan dirinya sendiri. Dr. Abraham Maslow berkata, "Orang yang dewasa ingin menjadi yang terbaik sepanjang yang dapat diusahakannya. Dalam hal ini dia tidak merasa mempunyai pesaing-pesaing.

2--Dia mengharagai orang lain.

Eksekutif yang efektif pun bisa menerima keadaan orang lain yang berbeda-beda. Ia dikatakan dewasa jika mampu menghargai perbedaan itu, dan tidak mencoba membentuk orang lain berdasarkan citra dirinya sendiri. Ini bukan berarti bahwa orang yang matang itu berhati lemah, karena jika kelemahan-kelemahan yang ada dalam diri seseorang itu sudah sedemikian mengganggu tujuan secara keseluruhan, ia tak segan memberhentikannya. Ukuran yang paling tepat dan adil dalam hubungan dengan orang lain bahwa kita menghormati orang lain, adalah ketiadaan keinginan untuk memperalat atau memanipulasi orang lain tersebut.


3--Dia menerima tanggung jawab.

Orang yang tidak dewasa akan menyesali nasib buruk mereka. Bahkan, mereka berpendapat bahwa nasib buruk itu disebabkan oleh orang lain. Sedangkan orang yang sudah dewasa malah mengenal dan menerima tanggung jawab dan pembatasan-pembatasan situasi dimana ia berbuat dan berada. Tanggung jawab adalah perasaan bahwa seseorang itu secara individu bertanggung jawab atas semua kegiatan, atau suatu dorongan untuk berbuat dan menyelesaikan apa yang harus dan patut diperbuat dan diselesaikan. Mempercayakan nasib baik pada atasan untuk memecahkan persoalan diri sendiri adalah tanda ketidakdewasaan. Rasa aman dan bahagia dicapai dengan mempunyai kepercayaan dalam tanggung jawab atas kehidupan sendiri.

4--Dia percaya pada diri sendiri.

Seseorang yang matang menyambut dengan baik partisipasi dari orang lain, meski itu menyangkut pengambilan keputusan eksekutif, karena percaya pada dirinya sendiri. Ia memperoleh kepuasan yang mendalam dari prestasi dan hal-hal yang dilaksanakan oleh anak buahnya. Ia memperoleh perasaan bangga, bersama dengan kesadaran tanggung jawabnya, dan kesadaran bahwa anak buadanya itu tergantung pada kepemimpinannya. Sedangkan orang yang tidak dewasa justru akan merasa sakit bila ia dipindahkan dari peranan memberi perintah kepada peranan pembimbing, atau bila ia harus memberi tempat bagi bawahannya untuk tumbuh. Seseorang yang dewasa belajar memperoleh suatu
perasaan kepuasaan untuk mengembangkan potensi orang lain.

5--Dia sabar.

Seseorang yang dewasa belajar untuk menerima kenyataan, bahwa untuk beberapa persoalan memang tidak ada penyelesaian dan pemecahan yang mudah. Dia tidak akan menelan begitu saja saran yang pertama. Dia menghargai fakta-fakta dan sabar dalam mengumpulkan informasi sebelum memberikan saran bagi suatu pemecahan masalah. Bukan saja dia sabar, tetapi juga mengetahui bahwa adalah lebih baik mempunyai lebih dari satu rencana penyelesaian.

6--Dia mempunyai rasa humor.

Orang yang dewasa berpendapat bahwa tertawa itu sehat. Tetapi dia tidak akan menertawakan atau merugikan/melukai perasaan orang lain. Dia juga tidak akan tertawa jika humor itu membuat orang lain jadi tampak bodoh. Humor semestinya merupakan bagian dari emosi yang sehat, yang memunculkan senyuman hangat dan pancaran yang manis. Perasaan humor anda menyatakan sikap anda terhadap orang lain. Orang yang dewasa menggunakan humor sebagai alat melicinkan ketegangan, bukan pemukul orang lain. --bersambung-- (270601)

(Diringkas dari The Effective Psychology for Manager, Mortimer R. Feinberg, Ph.D)

Kamis, 18 Maret 2010

RINTANGAN ATAU KEKANGAN?

Soul's Bread:
Irvina Johnston

Anak-anak dengan bersemangat membersihkan dan menghias halaman sekolah karena pesta sekolah sudah dekat. Ketika aku pelan-pelan mengangkat kepalaku, aku melihat Patty telah berdiri di depanku, siap untuk menyampaikan sebuah permintaan yang baginya sangat penting dan mendesak.
"Setiap tahun aku m-m-m-mendapatkan peran b-b-b-bisu. Anak-anak lain selalu
m-m-m-mendapatkan peran b-b-b-bicara atau yang lain. B-b-b-bicara. Tahun ini, aku ingin b-b-b-baca p-p-p-puisi, sendiri!"

Waktu kupandang sepasang mata yang sangat bersemangat itu, aku tidak ingin berkilah lagi. Permohonan itu membuatku mengeluarkan sebuah janji bahwa dalam sehari atau dua hari ia akan kuberi peran khusus - peran yang memberinya kesempatan untuk "bicara." Dan, ternyata janji ini termasuk salah satu yang paling sulit kupenuhi.

Tidak satu pun buku yang ada padaku menyediakan pilihan yang sesuai. Dalam keputusasaanku, aku berjaga sepanjang malam untuk menulis sebuah puisi, yang dengan hati-hati menghindari pemakaian huruf-huruf yang sulit diucapkan oleh lidahnya. Puisi itu tidak bagus, tetapi kubuat secara khusus guna mengatasi masalah bicara yang dialami oleh Patty. Baru beberapa kali membaca secara singkat, Patty telah menghafal semua bait dan siap menampilkannya.
Bagaimanapun kami harus mengendalikan keinginan yang menggebu-gebu itu tanpa merusak semangatnya. Hari demi hari, Patty dan aku berlatih untuk penampilan itu. Ia dengan cermat sekali menyesuaikan lama bicaranya dengan gerak mulut yang kucontohkan. Ia tidak sabar lagi menunggu saat untuk pertama kalinya tampil dengan peran bicara.

Bagi anak-anak, malam pesta adalah sesuatu yang sangat mereka nantikan.
Beberapa saat sebelum acara dimulai, pembawa acara datang kepadaku, memperlihatkan daftar acara yang telah diketik. "Pasti ada yang salah! Anda memasukkan Patty ke dalam salah satu acara pembacaan puisi. Bukankah untuk menyebut namanya sendiri saja anak itu tidak lancar?" Karena tidak ada waktu untuk menjelaskan, aku tidak memedulikan keberatannya dengan berkata, "Kami tahu yang kami perbuat."

Malam hiburan berjalan dengan baik. Acara demi acara ditampilkan, orangtua dan anak-anak menanggapi semuanya dengan tepuk tangan meriah. Menjelang tiba pada acara yang membuatnya ragu, pembawa acara sekali lagi menemui aku, bersikeras bahwa Patty hanya akan mempermalukan semua orang. Kesabaranku lenyap, maka aku membentaknya, "Patty akan tampil sesuai rencana. Kau kerjakan saja tugasmu. Bacakan acara berikutnya." Aku bergegas ke depan, duduk tepat di bawah panggung.

Pembawa acara muncul membacakan acara yang akan ditampilkan. "Pembaca puisi berikutnya adalah... mm... Patty Connors." Hampir semua penonton terkejut, segera diikuti dengan senyapnya seluruh ruangan. Layar pelan-pelan dibuka untuk menampilkan Patty yang waktu itu tampak sangat bersemangat dan penuh percaya diri.

Latihan berjam-jam yang telah dijalaninya memungkinkan semua itu.
Dengan pengendalian yang sempurna, si mungil yang memesona ini menyelaraskan ucapan-ucapannya dengan panduan yang kuberikan dengan mulutku dari balik lampu panggung. Ia melafalkan tiap suku kata dengan kejelasan yang terkendali, dan tanpa kegagapan atau ketersendatan sama sekali. Dengan mata berbinar-binar, ia mengakhiri pembacaanya dengan memberikan penghormatan sambil membungkuk, hormat kemenangan...

Layar ditutup. Keheningan menyelimuti seluruh ruangan. Perlahan-lahan kesenyapan itu digantikan dengan decak-decak kekaguman, dan akhirnya tepuk tangan dan sorak-sorai membahana. Dengan tubuh gemetar karena haru, aku segera ke belakang panggung. Pahlawan kecilku mengembangkan tangannya memelukku dan, dengan kegembiraan meluap, ia tergagap, "Kita b-b-b-berhasil!"

Selasa, 02 Maret 2010

MENGUKUR KETINGGIAN DENGAN MENGGUNAKAN BAROMETER

Barometer adalah alat untuk mengukur tekanan udara, bagaimana caranya untuk mengukur ketinggian? Cerita berikut tentang salah satu pertanyaan dalam ujian Fisika di Universitas Copenhagen: "Jelaskan bagaimana menetapkan tinggi suatu bangunan pencakar langit dengan menggunakan sebuah barometer."

Salah seorang mahasiswa menjawab: "Ikatlah leher barometer itu dengan seutas tali panjang, lalu turunkan barometer dari pucuk gedung pencakar langit sampai menyentuh tanah. Panjang tali ditambah panjang barometer akan sama dengan tinggi pencakar langit."

Jawaban yang luar biasa "orisinil" ini membuat pemeriksa ujian begitu geram.
Akibatnya si mahasiswa langsung tidak diluluskan. Si mahasiswa naik banding.
Menurutnya, kebenaran atas jawaban itu tidak bisa disangkal. Kemudian universitas menunjuk seorang arbiter yang independen untuk memutuskan kasus itu. Arbiter menyatakan bahwa jawaban itu memang benar, hanya saja tidak memperlihatkan secuil pun pengetahuan mengenai ilmu fisika. Untuk mengatasi permasalahan itu, disepakati untuk memanggil si mahasiswa, dan memberinya waktu enam menit untuk memberikan jawaban verbal yang menunjukkan paling sedikit latar belakang pengetahuannya mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu fisika.

Selama lima menit, si mahasiswa duduk tepekur, dahinya berkerut. Arbiter mengingatkan bahwa waktu sudah hampir habis. Mahasiswa itu menjawab bahwa ia sudah memiliki berbagai jawaban yang sangat relevan, tetapi tidak bisa memutuskan yang mana yang akan dipakai.

Saat diingatkan arbiter untuk bersegera memberikan jawaban, si mahasiswa menjelaskan sebagai berikut:

"Pertama-tama, ambillah barometer dan bawalah sampai ke atap pencakar langit. Lemparkan ke tanah, lalu ukurlah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tanah. Ketinggian bangunan bisa dihitung dari rumus H = 0.5g x t kwadrat. Tetapi khan sayang barometernya jadi pecah."

"Atau, bila matahari sedang bersinar, anda bisa mengukur tinggi barometer, tegakkan di atas tanah, dan ukurlah panjang bayangannya. Setelah itu, ukurlah panjang bayangan pencakar langit, sehingga hanya perlu perhitungan aritmatika proporsional secara sederhana untuk menetapkan ketinggian pencakar langitnya."

"Tapi kalau anda betul-betul ingin jawaban ilmiah, anda bisa mengikat seutas tali pendek pada barometer dan menggoyangkannya seperti pendulum. Mula-mula lakukan itu di permukaan tanah lalu di atas pencakar langit. Ketinggian pencakar langit bisa dihitung atas dasar perbedaan kekuatan gravitasi T = 2 pi akar dari (l/g)."

"Atau kalau pencakar langitnya memiliki tangga darurat di bagian luar, akan mudah sekali untuk menaiki tangga, lalu menggunakan panjangnya barometer sebagai satuan ukuran pada dinding bangunan, sehingga tinggi pencakar langit = penjumlahan seluruh satuan barometernya pada dinding pencakar langit."

"Bila anda hanya ingin membosankan dan bersikap ortodoks, tentunya anda akan menggunakan barometer untuk mengukur tekanan udara pada atap pencakar langit dan di permukaan tanah, lalu mengkonversikan perbedaannya dari milibar ke satuan panjang untuk memperoleh ketinggian bangunan."

"Tetapi karena kita senantiasa ditekankan agar menggunakan kebebasan berpikir dan menerapkan metoda-metoda ilmiah, tentunya cara paling tepat adalah mengetuk pintu pengelola gedung dan mengatakan: 'Bila anda menginginkan barometer baru yang cantik, saya akan memberikannya pada anda jika anda memberitahukan ketinggian pencakar langit ini."

Siapakah mahasiswa tersebut?
Mahasiswa tersebut adalah Niels Bohr, satu-satunya warga Denmark yang memenangkan hadiah Nobel untuk Fisika. How sometimes we just judge somebody by what she/he say, not by the real thought inside of her/him.

Smiley...! Seringkali kita menilai seseorang dari apa yang dikatakannya, bukan dari apa yang sesungguhnya ia pikirkan.