Kamis, 18 Maret 2010

RINTANGAN ATAU KEKANGAN?

Soul's Bread:
Irvina Johnston

Anak-anak dengan bersemangat membersihkan dan menghias halaman sekolah karena pesta sekolah sudah dekat. Ketika aku pelan-pelan mengangkat kepalaku, aku melihat Patty telah berdiri di depanku, siap untuk menyampaikan sebuah permintaan yang baginya sangat penting dan mendesak.
"Setiap tahun aku m-m-m-mendapatkan peran b-b-b-bisu. Anak-anak lain selalu
m-m-m-mendapatkan peran b-b-b-bicara atau yang lain. B-b-b-bicara. Tahun ini, aku ingin b-b-b-baca p-p-p-puisi, sendiri!"

Waktu kupandang sepasang mata yang sangat bersemangat itu, aku tidak ingin berkilah lagi. Permohonan itu membuatku mengeluarkan sebuah janji bahwa dalam sehari atau dua hari ia akan kuberi peran khusus - peran yang memberinya kesempatan untuk "bicara." Dan, ternyata janji ini termasuk salah satu yang paling sulit kupenuhi.

Tidak satu pun buku yang ada padaku menyediakan pilihan yang sesuai. Dalam keputusasaanku, aku berjaga sepanjang malam untuk menulis sebuah puisi, yang dengan hati-hati menghindari pemakaian huruf-huruf yang sulit diucapkan oleh lidahnya. Puisi itu tidak bagus, tetapi kubuat secara khusus guna mengatasi masalah bicara yang dialami oleh Patty. Baru beberapa kali membaca secara singkat, Patty telah menghafal semua bait dan siap menampilkannya.
Bagaimanapun kami harus mengendalikan keinginan yang menggebu-gebu itu tanpa merusak semangatnya. Hari demi hari, Patty dan aku berlatih untuk penampilan itu. Ia dengan cermat sekali menyesuaikan lama bicaranya dengan gerak mulut yang kucontohkan. Ia tidak sabar lagi menunggu saat untuk pertama kalinya tampil dengan peran bicara.

Bagi anak-anak, malam pesta adalah sesuatu yang sangat mereka nantikan.
Beberapa saat sebelum acara dimulai, pembawa acara datang kepadaku, memperlihatkan daftar acara yang telah diketik. "Pasti ada yang salah! Anda memasukkan Patty ke dalam salah satu acara pembacaan puisi. Bukankah untuk menyebut namanya sendiri saja anak itu tidak lancar?" Karena tidak ada waktu untuk menjelaskan, aku tidak memedulikan keberatannya dengan berkata, "Kami tahu yang kami perbuat."

Malam hiburan berjalan dengan baik. Acara demi acara ditampilkan, orangtua dan anak-anak menanggapi semuanya dengan tepuk tangan meriah. Menjelang tiba pada acara yang membuatnya ragu, pembawa acara sekali lagi menemui aku, bersikeras bahwa Patty hanya akan mempermalukan semua orang. Kesabaranku lenyap, maka aku membentaknya, "Patty akan tampil sesuai rencana. Kau kerjakan saja tugasmu. Bacakan acara berikutnya." Aku bergegas ke depan, duduk tepat di bawah panggung.

Pembawa acara muncul membacakan acara yang akan ditampilkan. "Pembaca puisi berikutnya adalah... mm... Patty Connors." Hampir semua penonton terkejut, segera diikuti dengan senyapnya seluruh ruangan. Layar pelan-pelan dibuka untuk menampilkan Patty yang waktu itu tampak sangat bersemangat dan penuh percaya diri.

Latihan berjam-jam yang telah dijalaninya memungkinkan semua itu.
Dengan pengendalian yang sempurna, si mungil yang memesona ini menyelaraskan ucapan-ucapannya dengan panduan yang kuberikan dengan mulutku dari balik lampu panggung. Ia melafalkan tiap suku kata dengan kejelasan yang terkendali, dan tanpa kegagapan atau ketersendatan sama sekali. Dengan mata berbinar-binar, ia mengakhiri pembacaanya dengan memberikan penghormatan sambil membungkuk, hormat kemenangan...

Layar ditutup. Keheningan menyelimuti seluruh ruangan. Perlahan-lahan kesenyapan itu digantikan dengan decak-decak kekaguman, dan akhirnya tepuk tangan dan sorak-sorai membahana. Dengan tubuh gemetar karena haru, aku segera ke belakang panggung. Pahlawan kecilku mengembangkan tangannya memelukku dan, dengan kegembiraan meluap, ia tergagap, "Kita b-b-b-berhasil!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar