Kamis, 13 Januari 2011

UANG SEBAGAI MOTIVATOR ATAU MANIPULATOR

Paul W. Cummings

Jika anda bertanya pada sekelompok karyawan, apakah mereka pantas diberi kenaikan upah, hampir semua akan mengacungkan tangan. Ini tentu saja suatu reaksi yang wajar. Hanya orang tolol akan menolak diberi kenaikan upah.
Jika anda kemudian bertanya, apakah mereka layak diberi kenaikan upah sesuai dengan kemampuan mereka, mungkin beberapa akan mengacungkan tangan, dan sebagian besar dari mereka tidak akan berbuat demikian. Jika anda lalu bertanya, apakah mereka mendapat upah yang tidak sesuai dengan tanggung jawab yang mereka emban, mungkin separo dari mereka akan mengacungkan tangan. Akhirnya, jika mereka anda tanya, apakah gaji mereka terlalu banyak sekarang ini, saya jamin hanya sedikit sekali yang akan mengacungkan tangan.

Apakah uang, dalam bentuk upah, gaji, bonus, dan insentif, merupakan motivator sungguh-sungguh, ataukah sebagai alat manipulator oleh manajemen. Nilai uang dalam dunia kerja kita sekarang ini ditentukan oleh pentingnya uang itu bagi masing-masing penerima. Dalam kondisi biaya hidup yang tinggi dan merajalelanya inflasi, uang akan jauh lebih berarti bagi kebanyakan orang. Ada beberapa segi menarik tentang uang yang harus disadari oleh pembaca sebelum berusaha menjawab pertanyaan ini:

1--Uang sebagai tolok ukur.

Upah atau gaji yang diterima seseorang seringkali digunakan sebagai alat ukur. Ini dikarenakan arti uang yang universal. Apa yang dapat dilakukan seseorang dengan uang, dan berapa banyak yang diterimanya merupakan alat ukur harga diri orang itu terhadap orang lain di dalam kelompok kerja yang sama, atau dalam organisasi lain.

2--Uang dan jabatan.

Nama jabatan dan gaji yang diterima dari pekerjaan itu kadang-kadang menyesatkan. Misalnya, seorang wakil direktur dengan gelar MBA yang bekerja dalam suatu lembaga keuangan, mungkin menerima sama atau kurang dari pengumpul sampah mingguan yang boleh jadi hanya seorang jebolan sekolah menengah. Apakah uang benar-benar merupakan motivator dalam hal ini?
Bagi wakil direktur itu jawabannya mungkin tidak, tetapi bagi si pengumpul sampah, jawabannya mungkin ya.

3--Uang sebagai daya tarik.

Jika uang bukan suatu motivator lalu mengapa demikian banyak organisasi kehilangan karyawan yang ulung karena terpikat oleh imbalan keuangan yang lebih tinggi? Mereka antara lain, sekretaris eksekutif, teknisi berketrampilan tinggi, manajer pabrik, dan bahkan direktur perusahaan itu sendiri.

4--Uang sebagai simbol.

Upah dan gaji dapat berfungsi sebagai simbol jika digabungkan dengan faktor-faktor kerja lain yang memuaskan seperti jam kerja, kondisi kerja, tanggung jawab, jumlah pengambilan keputusan yang diperlukan, dan bahaya serta resiko yang harus dihadapi dalam melaksanakan pekerjaan itu. Tentu saja, sudah jelas bahwa hubungan antara usaha yang harus diberikan dan keuntungan yang perlu diterima juga harus dipertimbangkan.

5--Uang sebagai pemersatu kelompok.

Jarang saya melihat uang sebagai motivator yang sungguh-sungguh. Pada suatu saat ketika saya bekerja sebagai seorang penyelia dalam bagian tungku terbuka suatu pabrik baja, saya melihat empat pembantu utama menggunakan solidaritas kelompok untuk mencapai bonus maksimum. Seorang pembantu utama bertanggung jawab atas pembuatan sejumlah ton baja cair pada suhu 2800 derajat Fahrenheit. Ini merupakan operasi terus-menerus, tujuh hari seminggu, 24 jam sehari. Empat orang itu bekerja dalam regu yang berbeda-beda, tetapi melayani satu tungku yang sama untuk menghasilkan baja.
Kebanyakan dari mereka tidak lulus sekolah menengah, tetapi dapat menghitung pendapatan bonus mereka hingga jumlah sennya. Walaupun masing-masing bekerja dalam regunya, mereka menggabungkan ketrampilan mereka menjadi suatu kelompok usaha yang memanfaatkan sistem bonus/insentif yang telah ditetapkan oleh perusahaan.

6--Uang sebagai hadiah.

Jika uang merupakan hadiah utama dalam suatu perlombaan penjualan, para kontestan tentu saja akan bertanya pada diri sendiri berapa besar kemungkinannya untuk memenangkan perlombaan itu. Banyak variabel, seperti,jumlah dan kriteria pelanggan, prospek ekonomi nasional, harga produk, harga produk pesaing, laba bersih, jumlah kontestan, semua itu akan berpengaruh langsung terhadap kemungkinan seseorang untuk menang.

Keputusan apakah seseorang karyawan akan ikut perlombaan itu tergantung pada jumlah hadiah yang akan diterimanya, dan dibandingkan dengan gaji sebulannya. Jika seorang kontestan berpenghasilan Rp. 50.000,- sebulan, sedangkan hadiah utamanya Rp. 10.000,- itu bukan meruapakan perangsang.
Tetapi kontestan lain, yang menerima gaji Rp. 25.000,- sebulan akan menerima tantangan itu dengan senang hati dan terdorong untuk mencoba memenangkan hadiah itu.

Banyaknya usaha yang diperlukan untuk memenangkan perlombaan itu juga mempengaruhi keputusan untuk ikut berlomba atau tidak. Jika untuk itu diperlukan beberapa jam atau beberapa hari tambahan kerja, maka tak semua orang akan menerima tantangan itu.

Kesimpulannya. Uang mempunyai arti lain bagi masing-masing orang dalam organisasi kerja yang berbeda dan dalam waktu yang berbeda selama karier mereka. Demikian pula, uang mempunyai arti yang tidak sama bagi masing-masing manajemen dalam bidang usaha dan industri yang berbeda, dan dalam waktu berbeda sepanjang sejarah dan kehidupan organisasi itu. Oleh karena itu, jika tiga kekuatan besar ini dipertimbangkan, yaitu: orang, organisasi, dan uang, maka masalah uang sebagai motivator atau manipulator ditentukan oleh seberapa jauh uang itu berguna bagi orang dan organisasi
yang bersangkutan. Bagaimana individu dan organisasi melihat uang (sebagai alat manipulator atau motivator) merupakan masalah pilihan pribadi dalam masyarakat kapitalis yang bebas. Tetapi, pada masa sekarang, orang tidak boleh melupakan pengaruh kebijakan dan praktek-praktek ekonomi nasional dan internasional.

(Dikutip dari: Paul W. Cummings, Open Management)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar